Rabu, 21 Februari 2018

Ketika Keluarga Berubah Peran

Pernahkah kamu diremehkan orang lain? Pernahkah kamu merasa seakan-akan keberadaanmu itu tidak pantas untuk di jadikan sebagai panutan? Atau bahkan pernahkah kamu menjadi contoh orang yang tidak pantas untuk ditiru?

Puji Tuhan kalau kalian tidak pernah mengalami hal-hal tersebut. Tapi, bagi kalian yang pernah mengalami hal itu, aku tahu bagaimana rasanya.. itu pasti membuat luka yang cukup dalam di hati kita.

Kadang kita berpikir kalau kita ini sudah hidup dengan benar, tidak neko-neko atau tidak aneh-aneh, intinya kita hidup benar. Tapi ternyata orang lain melihat itu berbeda, orang lain tidak melihat itu sama seperti apa yang kita rasakan, orang lain menilai kita berbeda. Tidak salah memang, karena itu hak mereka untuk melihat dengan cara mereka sendiri..

Tapi, itu menjadi terasa salah ketika pandangan mereka itu akhirnya membuat luka yang cukup dalam di hati kita.

Koq bisa? Bisa.. hal itu bisa menjadi luka ketika yang meremehkan mu, yang memandang mu buruk, yang menilai mu rendah, bahkan hingga menghujat mu adalah orang-orang terdekat mu sendiri, sebut saja mereka keluarga. Orang yang seharusnya mensupport kita tapi justru menjadi orang yang juga mengintimidasi kita.

Kembali saya menekankan bahwa peran keluarga sangat penting, sejauh apapun kaki kita melangkah, selama apapun kita pergi, pasti ujungnya kita akan tetap kembali kepada keluarga. Karena memang keluarga harusnya menjadi “Rumah” bagi semua orang. Menjadi tempat perlindungan bagi semua orang.

Tapi, bagaimana jadinya jika apa yang kita sebut “Rumah” itu tidak berperan selayaknya rumah? Rumah yang seharusnya menjadi benteng perlindungan berubah peran menjadi tempat “Penyiksaan” bagi kita.

Orang-orang yang berada di dalam rumah itu yang seharusnya menjadi power bank untuk kita merecharge semangat, menjadi supporter ketika kita berada di situasi yang yang sulit, dan memberikan pundaknya ketika kita ingin menangis justru mengubah perannya menjadi algojo yang siap mencambuk kita setiap saat, menjadi jaksa yang selalu menuntut kita ini dan itu, atau bahkan menjadi hakim yang sangat pandai dalam menghakimi setiap hal dalam hidup kita.

Tidak sedikit orang yang tadinya sudah hidup dengan baik dan benar akhirnya berubah menjadi orang yang hidup dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan agamanya atau dengan norma-norma yang berlaku di lingkungannya dikarenakan dia merasa untuk apa hidup benar tapi selalu dipandang dan dinilai salah, dinilai buruk.. Tidak ada gunanya. Lebih baik buruk sekalian.

Tidak sedikit juga anak yang tumbuh menjadi pendendam karena sejak kecil selalu dituntut ini dan itu oleh orang tuanya, selalu disalahkan dan dimarahi bahkan di maki-maki dengan kata-kata kasar karena tidak bertindak sesuai dengan yang orang tuanya mau. Dan masih banyak lagi “masalah psikologis” yang melekat pada anak yang tumbuh dengan lingkungan keluarga seperti itu.

Yang saya sangat sayangkan adalah jika hal itu berdampak pada relasi anak dan orang tua. Bagaimana jika nantinya anak tidak lagi bisa menghargai orang tuanya? Bagaimana jika nantinya anak menjadi sangat dendam dengan orang tuanya? Bagaimana jadinya jika nantinya anak lebih mengasihi orang lain dari pada orang tuanya sendiri? Atau sebaliknya, bagaimana jika orang tua selalu berperan manis kepada orang lain tetapi berubah menjadi menjadi moster bagi anaknya sendiri, bagi keluarganya sendiri?

Pendisiplinan dan teguran itu memang perlu, tapi wujudnya bukan dalam bentuk makian, hujatan, atau kekerasan fisik. Harus ada komunikasi yang baik antara anak dan orang tua untuk menyampaikan isi hati mereka.

Setiap pendisiplinan juga tidak dapat dihantam rata pada segala usia anak. Bayi belum siap diberi nasi, dan anak yang sudah besar pun juga tidak bisa terus-terusan diberi bubur. Anak yang masih kecil memang harus selalu di “tuntun” tapi anak yang sudah dewasa tidak bisa lagi terus-terusan di dikte. Karena semua anak terus bertumbuh besar, dan pola pendidikan tidak bisa terus sama.

Maka dari itu, saya sangat prihatin melihat orang-orang yang “belum siap” menikah tapi tetap memaksakan untuk menikah, orang-orang yang “belum siap” memiliki anak tapi tetap memaksakan untuk memiliki anak. Dan dampak dari semua itu sangat besar bagi pertumbuhan keluarga dan anak-anaknya.

Yok, sama-sama kita menyadari bahwa peran keluarga itu sangat penting bagi semua orang. Mari kita sama-sama berusaha untuk menjadikan keluarga berperan selayaknya perannya sebagai rumah, menjadi tempat perlindungan.

Anak berperan selayaknya anak, orang tua berperan selayaknya orang tua. Jangan ubah itu menjadi hal yang buruk, jangan ubah keluarga menjadi neraka didunia nyata, menjadi penjara yang membuat kita tidak betah didalamnya.

Dan untuk kita-kita yang bakal calon istri/suami atau bakal calon orang tua ini, yok kita bekali diri kita dengan baik. Jika memungkinkan untuk mengikuti seminar tentang keluarga, ikutlah. Banyak membaca buku-buku tentang keluarga, pola asuh anak, dan lain-lain. Supaya kita semua bisa berperan selayak peran kita nantinya.


Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar