Pernahkah
kamu diremehkan orang lain? Pernahkah kamu merasa seakan-akan keberadaanmu itu
tidak pantas untuk di jadikan sebagai panutan? Atau bahkan pernahkah kamu
menjadi contoh orang yang tidak pantas untuk ditiru?
Puji Tuhan
kalau kalian tidak pernah mengalami hal-hal tersebut. Tapi, bagi kalian yang
pernah mengalami hal itu, aku tahu bagaimana rasanya.. itu pasti membuat luka
yang cukup dalam di hati kita.
Kadang kita
berpikir kalau kita ini sudah hidup dengan benar, tidak neko-neko atau tidak aneh-aneh,
intinya kita hidup benar. Tapi ternyata orang lain melihat itu berbeda, orang
lain tidak melihat itu sama seperti apa yang kita rasakan, orang lain menilai
kita berbeda. Tidak salah memang, karena itu hak mereka untuk melihat dengan
cara mereka sendiri..
Tapi, itu
menjadi terasa salah ketika pandangan mereka itu akhirnya membuat luka yang
cukup dalam di hati kita.
Koq bisa?
Bisa.. hal itu bisa menjadi luka ketika yang meremehkan mu, yang memandang mu
buruk, yang menilai mu rendah, bahkan hingga menghujat mu adalah orang-orang
terdekat mu sendiri, sebut saja mereka keluarga. Orang yang seharusnya
mensupport kita tapi justru menjadi orang yang juga mengintimidasi kita.
Kembali saya
menekankan bahwa peran keluarga sangat penting, sejauh apapun kaki kita
melangkah, selama apapun kita pergi, pasti ujungnya kita akan tetap kembali
kepada keluarga. Karena memang keluarga harusnya menjadi “Rumah” bagi semua
orang. Menjadi tempat perlindungan bagi semua orang.
Tapi,
bagaimana jadinya jika apa yang kita sebut “Rumah” itu tidak berperan
selayaknya rumah? Rumah yang seharusnya menjadi benteng perlindungan berubah
peran menjadi tempat “Penyiksaan” bagi kita.
Orang-orang
yang berada di dalam rumah itu yang seharusnya menjadi power bank untuk kita
merecharge semangat, menjadi supporter ketika kita berada di situasi yang yang
sulit, dan memberikan pundaknya ketika kita ingin menangis justru mengubah
perannya menjadi algojo yang siap mencambuk kita setiap saat, menjadi jaksa
yang selalu menuntut kita ini dan itu, atau bahkan menjadi hakim yang sangat
pandai dalam menghakimi setiap hal dalam hidup kita.
Tidak
sedikit orang yang tadinya sudah hidup dengan baik dan benar akhirnya berubah
menjadi orang yang hidup dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan agamanya
atau dengan norma-norma yang berlaku di lingkungannya dikarenakan dia merasa
untuk apa hidup benar tapi selalu dipandang dan dinilai salah, dinilai buruk..
Tidak ada gunanya. Lebih baik buruk sekalian.
Tidak
sedikit juga anak yang tumbuh menjadi pendendam karena sejak kecil selalu
dituntut ini dan itu oleh orang tuanya, selalu disalahkan dan dimarahi bahkan
di maki-maki dengan kata-kata kasar karena tidak bertindak sesuai dengan yang
orang tuanya mau. Dan masih banyak lagi “masalah psikologis” yang melekat pada
anak yang tumbuh dengan lingkungan keluarga seperti itu.
Yang saya
sangat sayangkan adalah jika hal itu berdampak pada relasi anak dan orang tua.
Bagaimana jika nantinya anak tidak lagi bisa menghargai orang tuanya? Bagaimana
jika nantinya anak menjadi sangat dendam dengan orang tuanya? Bagaimana jadinya
jika nantinya anak lebih mengasihi orang lain dari pada orang tuanya sendiri?
Atau sebaliknya, bagaimana jika orang tua selalu berperan manis kepada orang
lain tetapi berubah menjadi menjadi moster bagi anaknya sendiri, bagi
keluarganya sendiri?
Pendisiplinan
dan teguran itu memang perlu, tapi wujudnya bukan dalam bentuk makian, hujatan,
atau kekerasan fisik. Harus ada komunikasi yang baik antara anak dan orang tua
untuk menyampaikan isi hati mereka.
Setiap
pendisiplinan juga tidak dapat dihantam rata pada segala usia anak. Bayi belum
siap diberi nasi, dan anak yang sudah besar pun juga tidak bisa terus-terusan
diberi bubur. Anak yang masih kecil memang harus selalu di “tuntun” tapi anak
yang sudah dewasa tidak bisa lagi terus-terusan di dikte. Karena semua anak
terus bertumbuh besar, dan pola pendidikan tidak bisa terus sama.
Maka dari
itu, saya sangat prihatin melihat orang-orang yang “belum siap” menikah tapi
tetap memaksakan untuk menikah, orang-orang yang “belum siap” memiliki anak
tapi tetap memaksakan untuk memiliki anak. Dan dampak dari semua itu sangat
besar bagi pertumbuhan keluarga dan anak-anaknya.
Yok,
sama-sama kita menyadari bahwa peran keluarga itu sangat penting bagi semua
orang. Mari kita sama-sama berusaha untuk menjadikan keluarga berperan
selayaknya perannya sebagai rumah, menjadi tempat perlindungan.
Anak
berperan selayaknya anak, orang tua berperan selayaknya orang tua. Jangan ubah
itu menjadi hal yang buruk, jangan ubah keluarga menjadi neraka didunia nyata,
menjadi penjara yang membuat kita tidak betah didalamnya.
Dan untuk
kita-kita yang bakal calon istri/suami atau bakal calon orang tua ini, yok kita
bekali diri kita dengan baik. Jika memungkinkan untuk mengikuti seminar tentang
keluarga, ikutlah. Banyak membaca buku-buku tentang keluarga, pola asuh anak,
dan lain-lain. Supaya kita semua bisa berperan selayak peran kita nantinya.
Semoga
bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar